Jumat, 16 April 2010

Kilasan Cerita Lama

'Anis', kusebut namaku sembari kujabat tangannya. ''Sama namanya,'' itu saja jawabnya tanpa pernah sebutkan nama dia. Sebuah perkenalan yang selalu saja mengundang heran dan pertanyaan, setiap kali kumengenang hari itu.

Pada mulanya kukira dia pegawai perusahaan tempat aku tergopoh-gopoh melamar. Dengan gayanya, dengan penampilannya. Ternyata, haha, dia juga melamar pekerjaan yang sama denganku.

Entah nasib apa yang menyatukan kami dan entah apa maksudnya, dia menjadi hantu hari-hariku selanjutnya. Entah sikapnya yang menjatuhkanku ketika diskusi, entah perasaanku yang meyakini dia akan selalu dipanggil juga setiap kali aku menerima panggilan seleksi lanjutan.

''Aries ya ?'' tanyaku yang dia iyakan dengan tatapan jengkel. Hehehe, aku tertawa dan bilang itu sudah kuduga. Hidupku tak jauh-jauh dari orang-orang berhoroskop itu. Dengan keunikan sikapnya.

Hari-hari dengan jawaban pendek dan sepatah-sepatah, menjadi hari-hariku bersamanya. Walaupun, ketika kudiam saat menjadi sopir pribadinya, meluncur beragam cerita kehidupannya. Belum lagi foto si ini si itu, pacar yang ini yang itu.

Saat kutanyakan kenapa dia menceritakan semua itu padaku yang tak pernah dia masukkan sebagai kategori teman, dia menjawab enteng saja. ''Kamu mau mendengarkan sih.''

Kunikmati hari-hariku dengannya dalam situasi yang tak jauh-jauh dari itu. Entah benar entah bodohku saja, kuanggap semua itu hanya cara dia menempatkanku dalam hidupnya. Kupikir, dengan cara unik itu aku hadir di hatinya. Tidak penting, bukan siapa-siapa, tapi ada.

Sampai entah setan atau justru malaikat yang membisikiku, bahwa dia hanya memanfaatkanku. Entah mengapa pula aku begitu terpancing dan marah. Kukilas balik semua perjalananku dengannya dan kubenarkan pendapat itu.

Kucecar dia dengan marahku. Dengan ketidakterimaanku atas sikapnya. Dan aku menjadi jahat. Lalu aku kehilangannya.

Sejuta cara untuk memanggilnya kembali. Tapi, tak juga ada cara kembali. Bukan lagi marah dan balasan jahat yang kudapat, tapi //absolutely// tidak peduli.

Di satu masa aku pernah gila karenanya. Waras sesaat untuk kembali gila. Tapi semua tetap sama saja. Dia tak lagi ada.

Sekarang, di sini, di satu kafe nyaman yang sepi di seberang satu gereja, aku hanya ingin tertawa mengenang semuanya. Meskipun ada sejuta umpatan yang menyebutku bodoh - karena mengenang dan mengharapkannya - aku tetap percaya dia tetap ada.

Kepercayaan itu terlanjur tertanam dalam. Kupikir hanya jeda yang sekarang dibutuhkannya. Seperti kata Bapaknya, kalau setiap upaya sudah tidak bisa, biarkan kekuatan doa yang mengembalikannya. Yah, aku sampai berakrab-akrab dengan Bapaknya, dalam sesi gila-ku karenanya.

Lalu, apa kabarku sekarang tanpanya ? Untunglah cukup gembira dan baik-baik saja. Dengan teman-teman yang memahamiku. Dengan kawan-kawan yang berbagi suka dan duka, walau tanpa rasa istimewa. Yang selalu ada, bahkan sekedar untuk panggilan ke lantai 13 kompleks pertokoan di kota Jakarta atau di kafe murah meriah di kawasan yang sama.

Di ujung kilas balik kenangan ini, sebaris doa yang dia minta suatu ketika, kembali kupinta. Mungkin ini memang hanya jeda, satu cara untukku tumbuh dewasa. Mungkin suatu ketika, bisa kutatap lagi senyum di matanya. Suatu ketika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar