Jumat, 16 April 2010

Hujan Salah Musim

Brrrr.. Lagi-lagi hujan salah musim. Membuatku terdampar di sini. Merapatkan jaket, dengan sebatang samsu terselip di bibir dan bertemankan secangkir kopi. Mengusir dingin. Cukup di warung pinggir jalan, berteduh. Dan membiarkan pikiranku melayang, sebebas elang, menapak tilas perjalanan.

''Kenapa sih, kalau menulis selalu tentang dia ? Itu //ga// berdampak buat yang baca, selain mancing simpatik dan penasaran,'' kecam seorang kawan siang tadi tentang note fesbukku. Haha, aku hanya tertawa menanggapinya. ''Itu karena semua orang menganggap tulisanku adalah personal. Padahal itu kan latihanku menulis,'' jawabku seusai reda tawa.

''Tulislah tentang Bu Mega, atau apa lah yang ada gunanya buat publik,'' lanjut kecamnya. Menurut dia, tulisanku tak lari-lari, tapi tidak berarti. Seperti aku di mata si 'kamu' yang membuat orang penasaran itu, rutukku dalam hati.

Crassssshhh... Sial, warung ini tak melindungiku dari tempias air yang melompat dari genangan yang terterjang mobil-mobil mahal. Nasib kaum marjinal. Berteduh pun basah.

Jadi ingat Bu Mega. Apa ya yang dipikirkannya kala hujan salah musim begini ? Mengingatnya, entah mengapa yang terasa sunyi. Selintas teringat kabar Bu Mega sampai menyepi dan menolak menemui orang-orang terdekatnya. Hanya dua putranya, dan satu dua sahabat akrab, yang bisa menyambanginya. Bukan putrinya, suaminya, sekjen-nya, atau siapapun yang selama ini melekat dianggap sebagai ring satu Bu Mega.

Demokrasi ini mungkin seperti hujan salah musim ya, Ibu. Seperti hujan yang seharusnya anugrah, tapi mengundang gerutuan karena salah musim. Demokrasi yang dianggap sebagai berkah pun, menjadi serasa salah musim ketika dimenangkan orang-orang yang salah. Ketika kemenangan hanya angka. Ketika kemenangan didapat melalui rekayasa.

Arrgghhhh.. Kenapa jadi mikir politik ? Siapalah aku ini boleh menghakimi demokrasi. Aku hanya pengelana jalanan bermodal motor tua. Dihapali setiap warung kopi jalanan, yang hanya terbeli secangkir kopi dan sebatang samsu setiap kali aku berada di sana. Pengelana bermodal tiga ribu perak untuk dua kenikmatan tiada tara itu.

''Kemana mak, warung-warung yang biasa di seberang sana ?'' tanyaku ke pemilik warung langgananku, sekedar mengalihkan pikiran. ''Biasa, mau adipura,'' jawab si mami tak acuh. ''Apa hubungannya mak ?'' tanyaku lagi.

Bertuturlah si mami. Setiap kali penilaian adipura digelar, maka petugas kecamatan akan mengedarkan surat kepada para pedagang yang berjajar di sisi selatan jakarta ini. Isinya, meminta mereka menutup warungnya untuk sementara. ''Sampai penilaian selesai saja,'' kata si mami.

Alamak, apa pula ini. Jadi semua gelar kebersihan itu hanya pura-pura ? Bersih tertata hanya ketika akan dinilai untuk adipura ? Bah.. Ampas kopi yang tersesap mulutku terasa berlipat kali pahitnya terasa. Kenapa tak disediakan saja satu lokasi yang memang tersedia untuk mereka, para pedagang kaki lima ini ?

Toh, mereka juga tak gratis di sini. Di depan mataku, aku tahu mereka membayar retribusi ke petugas kecamatan. Membayar iuran listrik dan air setiap bulan. Biaya keamanan pun tak ketinggalan.

Artinya, mereka bukan tidak mau membayar untuk berdagang. Mereka hanya tak punya tempat tanpa tergusur komplek pertokoan yang menyisipkan komisi di setiap persetujuan izin pembangunannya. Mereka hanya tak bisa mengirimkan parsel ataupun kartu diskon laiknya pertokoan-pertokoan mahal itu kepada para pejabat yang katanya aparat negara.

Aduh, kenapa aku jadi berpikir serius lagi ? Brrrrrr.. Hawa dingin ini menyentakku. Kemana aku akan melanjutkan langkah kaki saja aku tak tahu. Kenapa pula aku memikirkan negara yang seharusnya kaya ini ? Ahhh.. Asap pun tak lagi mengepul dari bibir ataupun sela jariku. Di tengah rutukan adipuraku, sebatang samsu itu sudah mati setelah melewati garis kuning pembatas isapan bibir.

Ah, hujan salah musim. Melemparkan otakku pada pengelanaan yang lebih panjang dari jalan roda motorku. Melayangkan gelisahku lebih tinggi dari kepak sayap elang. Hujan salah musim. Bersama dinginmu, otakku membeku.


>>> 2 November 2009, dedicated untuk seorang kawan yang mengkritikku tajam.. (notes : beberapa detil adalah fiksi.. tapi data insyaAllah valid.. hehe.. silahkan dinilai sendiri ajah.. boleh dicela2.. biar aku belajar juga.. haha.. thx anyway ..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar