Selasa, 03 Agustus 2010

Ketika Gaji Hanya Seribuan Rupiah

dimuat di Republika, 6 Mei 2010

Palupi Annisa Auliani

Berapakah gaji Anda sekarang dalam denominasi rupiah? Katakanlah Rp 1 juta per bulan. Pernahkan Anda bayangkan, gaji Anda itu 'berubah' menjadi seribu rupiah, tetapi dengan nilai yang sama? Jangan tertawa atau panik. Ini salah satu wacana yang sedang dikaji Bank Indonesia (BI) sebagai langkah penyederhanaan penulisan mata uang.

Ya, wacana itu bernama redenominasi. Dengan langkah ini nilai mata uang tidak berubah. Hanya penulisan nominalnya disederhanakan. Salah satu kemungkinannya adalah dengan menghilangkan tiga angka nol terakhir dari nominal mata uang saat ini. Apa sebabnya? Uang rupiah saat ini tercatat mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia yaitu Rp 100 ribu. Terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500 ribu dong.

Namun tak bisa dimungkiri, wacana ini bisa jadi akan mengusik kisah kelam //sanering// alias pemotongan nilai mata uang yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1952, 1959, dan 1966. Pada tahun 1952 yang lebih dikenal dengan gunting Syafruddin, mata uang keluaran NICA (Belanda) dibelah dua dan hanya sebelah kiri yang berlaku dengan nilai setengahnya.

Tahun 1959, sebulan setelah Dekrit Presiden, juga dilakukan pemotongan nilai uang setengahnya. Tahun 1966 ketika inflasi sangat tinggi, uang seribu perak dipotong menjadi tinggal seperak. Ketika itu harga rokok kretek yang semula Rp 10 ribu sempat menjadi Rp 10. Namun situasi ekonomi yang masih kacau membuat harga barang kembali melonjak gila-gilaan, terutama bahan pokok seperti beras yang masih banyak diimpor.

''Redenominasi berbeda dengan sanering. Ini nilainya tidak berubah, hanya penulisannya disederhanakan,'' kata Kepala Biro Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Iskandar Simorangkir, Selasa (4/5). Menurutnya, saat ini sudah banyak pertokoan besar yang juga sudah mempraktikkan 'redenominasi' dalam pelabelan harga.

Untuk menyederhanakan perbedaan redenominasi dengan sanering, Iskandar memberikan contoh harga beras. Misalnya, harga beras satu kilogram Rp 5.000. Dengan redenominasi menghilangkan tiga digit nol, maka harga beras menjadi Rp 5. Harga beras tetap, hanya nominalnya disederhanakan. Daya beli uang yang terkena redenominasi pun tetap. Uang Rp 5 tetap bisa membeli satu kilogram beras.

Sedangkan jika sanering yang berlaku, harga beras yang semula Rp 5.000 itu tidak serta merta ikut menjadi Rp 5. Bisa jadi harga beras tetap Rp 5.000 atau Rp 50. ''Dengan sanering yang berubah adalah nilai uangnya, bukan penulisan nominalnya. Ini yang merugikan rakyat,'' kata Iskandar.

Praktik redenominasi sudah ada contoh gagal dan sukses. Zimbabwe adalah contoh gagal, karena redenominasi justru memicu inflasi ribuan persen. Pemotongan enam digit nominal mata uang tak diikuti dengan penyesuaian harga berdasarkan nominal baru.

''Jadi harga barang dari sejuta bukan menjadi satu, tapi menjadi seribu. Ini yang memicu inflasi besar-besaran di Zimbabwe,'' kata Iskandar. Kasus di Zimbabwe sebenarnya adalah redenominasi tetapi dalam praktiknya adalah sanering. ''Ulah pedagang juga,'' kata dia.

Namun ekonomi Zimbabwe memang tidak stabil karena sebelumnya pemerintah secara sembarangan mencetak uang tanpa mempertimbangkan faktor produksi barang dan jasa. Banyak pihak juga memilih menggunakan berbagai mata uang asing. Akibatnya hiperinflasi. Demominasi mata uang mengalami peningkatan, barisan angka nol pada mata uang semakin banyak.

Bulan Juli 2008 Bank Sentral Zimbabwe menerbitkan mata uang senilai 100 miliar dolar Zimbabwe setelah inflasi mencapai dua juta persen. Padahal tiga bulan sebelumnya baru dicetak mata uang 50 juta dolar Zimbabwe. Menurut //Reuters//, ketika itu 100 miliar dolar Zimbabwe hanya bisa membeli tiga butir telur.

Karena lonjakan inflasi semakin menggila, pada Januari 2009, bank sentral negeri Afrika itu kembali mencetak rekor dengan menerbitkan mata uang berdenominasi terbesar sepanjang sejarah manusia, 100 triliun dolar. Nilainya di pasar gelap hanya setimpal dengan 33 dolar AS. Baru pada Agustus 2008 dilakukan pemangkasan 10 digit angka nol. Uang 10 miliar dolar menjadi 1 dolar.

Februari 2009, bank sentral kembali melakukan redenominasi memangkas 12 digit angka nol. Mata uang 1 triliun dolar tinggal menjadi 1 dolar Zimbabwe. Pecahan mata uang terbesar hanya 500 dolar Zimbabwe.

Sementara Rumania menjadi contoh sukses redenominasi yang tak menimbulkan gejolak pasar. Negara ini memotong empat digit angka nol. Kuncinya, sebelum pemberlakuan redenominasi Pemerintah sudah menggiatkan sosialisasi tentang penulisan nominal uang lama dan baru. Sanksinya juga tegas bagi mereka yang bermain-main dengan redenominasi, terutama para pedagang.

Turki juga sukses menerapkan redenominasi dengan menghilangkan enam angka nol. ''Persiapan Turki sudah dilakukan sejak 1994,'' kata Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah yang baru saja menyambangi negara tersebut.

Ketika Republika mengunjungi Istambul 2005 lalu, mata uang lira baru dipakai bersama-sama dengan lira lama. Saat menukar uang di //money changer//, lira yang diberikan juga campuran antara yang lama dan baru. Keduanya berlaku sebagai alat tukar yang sah.

Harga barang di toko juga masih ditulis dengan dua nominal berbeda. Daftar menu makanan dan minuman misalnya, kita akan terkaget-kaget dengan harga minuman jus 4.000.000 lira. Namun kalau kita baca daftar harga di sisi yang lainnya tertulis harga dengan nilai nominal baru yakni 4 lira.

Menurut Difi, keinginan Turki untuk masuk ke Uni Eropa menjadi salah satu faktor kesiapan negara itu melakukan redenominasi. Sementara kebijakan fiskal ketat dan defisit anggaran juga tak lebih dari dua persen produk domestik bruto.

Situasi ekonomi Indonesia, kata Difi, sebenarnya sudah cukup kondusif untuk redenominasi. Inflasi, stabilitas ekonomi, dan kondisi keuangan makro terjaga. ''Pendidikan masyarakat sangat urgen. Jangan sampai muncul gejolak karena salahpengertian. Jangan sampai ada anggapan penyederhanaan nominal ini berarti mengubah nilai barang,'' kata Difi.

Ekspektasi inflasi yang salah juga akan menjadi bola liar yang sulit dikendalikan dan pada akhirnya bisa memicu hiperinflasi. Mungkin dampak psikologis juga harus diperhatikan karena Indonesia akan kehilangan banyak orang yang biasa dipanggil 'jutawan' dan 'miliarder'.

n alwi shahab, subroto, ed: rahmad bh