Rabu, 01 September 2010

''Ilmu Cuek, Mau ?'' -- Tentang Berpikir Merdeka

Mari bercerita tentang keseharian kerja saya. Mungkin juga rasa yang sama di keseharian kerja Anda.

Di satu atau beberapa masa, pasti kita pernah bekerja dengan orang yang menurut kita bukan kelasnya jadi atasan kita. Jangankan atasan, mungkin juga partner kita, bahkan junior kita.

Tapi, apakah cukup berhenti dengan menggerutu, mengecam, dan mengeluhkan keadaan ? Lalu menyerah dalam keluh kesah ?

Hohoho..

Beberapa waktu lalu, ada dialog menarik di tengahkekalutan saya yang sedang merasa mentok menulis dan berkarya.

Yah, kalau sedang cupet, maka menyalahkan keadaan dan orang lain adalah hal paling gampang dan biasa. Apalagi, kalau terasa dan terukur, dengan kualitas kerja kita yang sama ternyata hasil yang didapat menjadi berbeda setelah melalui tangan rekan kita.

Terjadilah dialog ini. Dengan parafrase ya. *piss..*

‘’Duh, saya kok mentok ya dengan pola begini. Belum juga nyaman. Semoga saya yang bermasalah,’’ kata saya. Oleh seorang senior, dijawabnya, ‘’Sudah, ikuti sajalah dulu.’’

Saya pun menjawab, saya berusaha keras untuk mengikuti sistem yang berjalan dengan sumber daya yang ada. ‘’Latihan sabar kali ya. Selalu ada sisi terang di setiap peristiwa,’’ tambah saya.

Dengan bercanda, saya minta si senior berbagi ilmu sabar. Tak dinyana, jawabannya beda. ‘’Ilmu cuek mau ?’’ jawab dia.

Saya tanya balik dong, lebih berat mana ilmu sabar dan ilmu cuek itu. Terutama, kata saya, mana yang lebih tidak menggerogoti hati dan otak.

‘’Berat ilmu sabar dong,’’ jawab si senior. Tidak kalah tengil, dia tambahkan, bahwa karena ilmu sabar lebih berat dari ilmu cuek maka dia juga tidak belajar ilmu sabar itu.

‘’Dan sampai sekarang saya tetap tidak sabaran,’’ ungkap si senior. Tapi, buru-buru dia tambahkan, bukannya hidup ringan tanpa tantangan juga tidak ada enaknya ?

Hehe.. Tidak paham saya. Ini nyindir atau bagaimana ya ? Haha.. Lanjut bertanya saja. ‘’Jadi, ilmu cuek itu start-nya dari mana ? Beda dengan tidak peduli bukan ?’’ tanya saya bertubi-tubi.

Saya pertanyakan juga apakah maksud dia dengan ilmu cuek itu artinya semua hal di luar diri sendiri ditepiskan dulu, yang penting membangun jalan dan kapasitas diri sendiri terlebih dahulu. ‘’Tipis ya bedanya dengan egois ?’’ tambah tanya saya.

Senior menjawab, benchmarking dari kinerja adalah diri sendiri. ‘’Jadi tidak gampang tertiup angin. Tapi jangan berhenti,’’ kata dia.

Dari situ, lanjutnya, kita bisa belajar menghargai orang lain. ‘’Kalau ilmunya lengkap, insya Allah tidak akan mentok pada egoisme,’’ tegas dia sembari menambahkan benar-benar tidak ada ilmu sabarnya di situ.

Wah, saya langsung protes. Benar, benchmarking kinerja adalah diri sendiri. Tapi bagaimana ketika ada unsur orang lain yang ikut berperan dalam menghasilkan output kerja.

‘’Di mana menempatkan ilmu cuek dalam situasi begitu ?’’ kejar saya. Apalagi dengan berbagai perbandingan, bahan dasar yang sama bisa memberikan hasil jauh berbeda ketika diolah oleh orang yang berbeda di luar kita.

‘’Lho, mana bisa benchmarking-nya dipotong dari luar. Ini kan soal pikiran yang merdeka,’’ kecam dia. Kalau dengan benchmark diri sendiri masih bisa terpatahkan, menurut dia berarti ada yang belum benar di dalam proses internal diri kita sendiri.

‘’Kalau kamu masih membanding-bandingkan pengolahan menuju hasil kerja itu dan menyebut nama-nama itu, berarti kamu belum merdeka,’’ pungkas dia mengakhiri percakapan yang hingga saat ini kutuliskan belum ada lanjutan lagi. Haha.. sama-sama keras nih orang..

= = = =

Terus terang, saat itu saya tak puas. Lah, itu mah prinsip saya dari zaman saya mulai kenal yang namanya kompetisi dan kehidupan sosial. Mau kondisi dunia seperti apa, yang kita dapat adalah apa yang kita usahakan dengan sungguh-sungguh. *eh, di luar soal kuasa tuhan dan benang merah antar manusia yang kerap kita sebut kebetulan ya.. hehe.. *

Aturan boleh bicara apa saja soal standard kinerja. Faktor benefit apalagi profit dari setiap usaha, selalu menjadi godaan dalam penentuan benchmarking. Tapi selama kita yang memegang kemudi kepuasan kinerja dengan standard rasa kita, semua faktor luar itu bukan lagi yang utama. KSO alias kerja sesuai ongkos, dengan sendirinya tertepis. Juga kerja berdasarkan perintah semata. Yang ada adalah merasa kinerja saat ini harusnya bisa lebih bagus, rasanya belajar juga masih selalu kurang.

Hehe..

Lalu ?

Tarik nafas panjang, lepaskan semua beban, tenangkan pikiran, makan yang banyak, lalu tidur. Hehehe.. rangkaian kontemplasi yang menyenangkan.

Bangun pagi, saya baca lagi rangkaian percakapan panjang melalui layanan pesan pendek itu.

Hmmmm...

Lalu, saya tengok pekerjaan saya di masa-masa saya mengedepankan ketidakpuasan dan mengeluhkan keadaan..

Hmmmm...

Saya bandingkan dong dengan daftar kerja saya ketika saya sedang semangat dan mood baik..

Hmmm...

Diingat-ingat juga, rasanya kerja pas lagi ngrasa hebat gitu..

Hmmm...

Baiklah, sepertinya memang saya harus kembali berpikir merdeka.

Baca lagi ketentuan standard operational procedure kerja..

Dibangun image di kepala, sebenarnya posisi saya bekerja itu bagaimana dan apa yang diharapkan dari posisi saya itu.

Ok, Bismillah, stater motor, saya bekerja dengan niat ibadah..

Bahwa saya menulis bukan untuk menyesatkan atau menyenangkan orang..

Bahwa ada standard baku penulisan, apalagi jurnalistik..

Bahwa saya bekerja bukan sekedar mengejar upah..

Baiklah, tepis semua rasa malas dan enggan bertemu orang-orang yang tidak menyenangkan atau orang-orang yang tidak memuaskan kita..

Ah, mereka juga sama-sama manusia yang juga punya proses dalam kehidupannya..

Singkirkan yang tak perlu dari kepala..

Fokus..

Konsentrasi..

Ringankan hati..

Buang hal-hal yang bisa mengontaminasi..

Satu lagi, tebarkan kebaikan..

Dari niat baik, kata-kata baik, sampai perbuatan baik..

Tapi jangan sok baik yang tidak peka.. haha..

Dan ?

Seolah-olah dunia berubah dengan sendirinya.

Semua yang sebelumnya membuat kita serasa bisa membara dalam amarah, berbalik jadi bahan pemicu kita tertawa.

Jadi, santai sajalah..

Teruslah berkarya..

Tidak usah terlalu memikirkan mereka yang berhenti dalam keluh kesah..

Kuncinya ada pada kata ‘bergerak’..

Teruslah bergerak menebar kebaikan..

insyaAllah semua juga akan berbalik menjadi baik..

selama masih ada orang baik yang tak menyerah, kebaikan masih akan selalu punya tempat..

yakin sajalah..

= = = =

hehehe.. lagi kambuh ga jelas di lokananta.. :D

masih terus berlatih keluar dari dunia keluh kesah..

28 mei 2010, saat senja..