Rabu, 31 Maret 2010

Kangen Menulis Saja..

Ada beberapa pertanyaan dasar yang sesekali mengusik rutinitas pekerjaanku. Setidaknya ada dua pertanyaan. Satu, apakah aku benar-benar bisa menulis ? Dua, apakah aku benar-benar wartawan ?

Kedua pertanyaan itu jawabannya 'iya', tapi masih diikuti tanda baca koma.

Untuk pertanyaan pertama, jawabannya 'iya', kalau hanya dilihat bahwa ada kok tulisanku yang dimuat di tempatku bekerja, bahkan sesekali dengan editan yang tak substantif.

Untk pertanyaan kedua juga 'iya' kalau hanya dilihat bahwa aku punya ID-card (*yang menurutku jelek sekali dengan tulisan PERS berhuruf kapital berlatar belakang warna merah.. hehehehe..*), setiap hari mengejar kabar-kabur dari penjuru mata angin mengatasnamakan liputan lalu menuliskannya dengan harapan jadi berita, dan setiap bulan menerima gaji beserta slip-nya dari salah satu perusahaan media massa.

===

Kenapa aku gelisah karena dua pertanyaan itu ?

Pertama, aku merasa tulisanku biasa-biasa saja. Tak inspiratif. Tak berbingkai. Tak juga 'seru' atau 'menggelitik'. Datar saja. Barangkali malah membosankan.

Dua, tulisanku tak mengubah realita, tak membongkar hal-hal yang tak kasat mata. Reportase pun mungkin masih terlalu mewah untuk mewakili kata 'laporan'. Karena detil kerap tak punya tempat juga untuk disampaikan dalam rangkaian kata.

Tiga, verifikasi semakin hari semakin jauh saja dari dunia pekerjaanku ini. Padahal kata mereka yang belajar komunikasi apalagi jurnalistik, roh pekerjaan ini adalah 'verifikasi'.

Empat, apalagi kalau mau kembali ke idealisme awal sampai jurnalisme dimahkotai gelar 'pilar demokrasi keempat', semakin pusing kepalaku melihat duniaku ini semakin dekat dengan pertunjukan drama permukaan. Sektoral, individual, tak mengusung sesuatu yang benar-benar berkorelasi dengan rakyat.

==

Jadi miris sendiri, dengan segala diskusi panas tentang negara dan kehidupan bernegara.

Apa sih definisi negara yg paling dasar ? Komunitas orang yang sepakat atas sebuah konsep, sehingga bergabung untuk hidup bersama di satu wilayah, dan meminta pengakuan dari komunitas lain di luar dirinya. Kira-kira begitulah gambaran gampang dari pikiran para pendiri negara itu.

Lalu apa yang terpenting dari negara yang dasar pembentukannya begitu itu ? Namanya kumpulan orang alias manusia, pasti harus hidup dong. Dan karenanya 'makan' adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Bahasa muluknya adalah 'ekonomi'. Yah, kalau punya uang lebih karena kemakmuran ekonomi, bisa lah buat sekolah anak-anak, beli rumah bagusan dikit, mobil mentereng, atau apalah.

Karena dituntut bisa bertahan hidup, dengan beragam jenis orang dan pikiran di dalam komunitas itu sendiri dan juga bertetangga dengan komunitas lain, muncullah 'politik'. Meskipun kesepakatan sikap untuk membentuk negara juga masuk definisi politik, tapi menurutku pada dasarnya politik adalah urutan kedua setelah 'urusan perut' alias ekonomi, sesudah negara itu terbentuk.

Menurutku lagi, politik adalah konsep sistem yang dipilih untuk negara itu bertahan, termasuk untuk bisa memenuhi tuntutan perut itu. Susah sebenarnya mana yang duluan, politik atau ekonomi, dalam membentuk negara. Nyaris sepaket, dan timbal balik. Harus yakin hidup juga kan kalau mau memisahkan diri jadi negara sendiri. Kecuali kalau konyol saja. *ups..*

Ke dalam, politik yang dipilih akan menentukan 'sistem ekonomi' apa yang akan membuat sumber daya negara berdaya guna untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota negara ini. Kalau pilihannya lebih dari satu, keterkaitan sistem politik dan sistem ekonomi, akan lebih kait-mengait lagi. Lagi-lagi, harusnya ya..

Ke luar, politik juga yang menentukan apakah kita akan berkawan atau bermusuhan dengan negara mana, yang intinya akan mempengaruhi ketahanan hidup kita, baik dari sisi pasokan maupun dari sasaran jualan dan bersekutu yang ujungnya buat ongkos hidup itu tadi.

Ketika pilihan politik sudah dipakai, maka 'hukum' melengkapinya dengan perangkat aturan. Inilah garis pembatas lapangan permainan. Kalau masih sepakat jadi warga negara X dengan sistem politiknya dan numpang hidup di situ (*terpaksa ataupun enggak..*), ya harus memperhatikan dan patuh pada garis batas ini.

Tentyu, baik ekonomi, politik, maupun hukum, sifatnya relatif. Nah, baliknya ke politik. (*Apa politik harus jadi faktor nomor satu bernegara ya ?*).

Keberpihakan ekonomi seperti bagaimana yang dikembangkan Pemerintah, sistem politik apa, dan aturan macam mana yang diberlakukan, tergantung pada kemampuan 'bersiasah' para pemimpin sub-komunitas di dalam komunitas negara itu untuk bisa menjadi pengendali komunitas.

Ekonomi seperti apa, tergantung yang memerintah negara itu siapa. Negara makmur tapi ngutang mulu, atau negara ga punya sumber daya asli tapi kaya raya, tergantung pada siapa pemimpin dan-atau aliran politik pemimpin itu. (*Yup, sudah jarang individual orang memiliki kekuatan politik yang besar*).

Apalagi aturan hukumnya, pasti ngikut sistem politik dan tuntutan ekonomi. Kekuasaan -di eksekutif maupun jadi anggota dewan yang terhormat- itu menentukan nasib banyak orang. Sayang sering dikejar untuk rasa 'wah'-nya doang ya.. (*tyuh, politik penting juga ya..*)

Kalau melihat gambaran super duper disederhanakan itu, mestinya ketiga domain besar hidup bernegara tak bisa dikotak-kotakkan. Mestinya ya.

Mestinya ketika kita masih sepakat untuk menjadi bagian dan hidup - alias makan - di negara ini, sepakat dengan sistem politik yang berjalan, dan sepakat dengan aturan hukum yang berlaku sekarang, semua persoalan harus direntang sejauh itu sekalipun hanya bicara soal yang katanya sederhana.

Kenyataannya, pengkotak-kotakan ketiga hal itu semakin kental, meskipun tengah membahas masalah yang sama. Seolah-olah satu persoalan itu bisa dibelah, tergantung siapa yang sedang membicarakan atau menanganinya. Apakah itu orang ekonomi, politik, atau hukum. Seolah-olah benar dan salah itu menyesuaikan konteks.

==

Nah, kalau wartawan yang menjadikan pena -ups, sekarang komputer atau beriberi- sebagai senjata pamungkasnya adalah pilar keempat demokrasi (sistem politik yang sedang tren dengan tiga pilar lain adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif..) maka mestinya verifikasi tak akan pernah lekang dari kesadaran.

Sekalipun, bisa jadi kesadaran verifikasi itu kerap kali cuma jadi alarm kecil yang berdenging di bawah sadar, ketika menemukan fakta dari salah satu sektor bidang liputan. Toh, industri media memang tak menyediakan ruang sempurna untuk fakta sesungguhnya.

Bukannya malah ikut sibuk ribut dan lupa 'menjaga jarak' dengan subjek dan objek liputan. Hanyut dalam irama permainan, sehingga lengah dengan latar belakang di balik peristiwa.

===

Hahaha.. Sepertinya aku lupa makan lagi, jadi menulis hal-hal ribed begini..

Sebaiknya segera menelepon si jangkung (*jadi ketahuan deh, aku di mana.. bagi yang tahu saja..). Segera memesan semangkok mie goreng dengan dua telor mata sapi, segelas kecil dobel milo, sebotol aqua, dan bekerja kembali..

Kalaupun aku bisa bertahan dalam kegelisahan ini, semata karena kuniatkan hidupku ini untuk terus belajar. Selangkah demi selangkah.. Menatap seluruh realita.. Jatuh bangun sih.. Dijalani saja seni dan pernak-perniknya..

Kupertanyakan selalu ke diri sendiri dua hal saja. Kapasitas dan integritas. Jawabanku sendiri ya itu tadi, tetap merasa belum tahu apa-apa dan belum berbuat apa-apa. Terlalu banyak waktu masih tersia-sia. Bodoh banget terus rasanya. Belum berguna juga jadi manusia. Orang lain selalu membuatku terpesona dengan sikap dan karyanya. Kok pada bisa begitu ya ? Kok bisa hebat-hebat ya ?

Karenanya untukku introspeksi adalah mutlak. Kadang kebablasan menyalahkan diri sendiri dan menghukum diri sendiri seberat mungkin. Lalu, mengasah kepekaan. Dan, tak mematikan solidaritas. Karena sendiri hanya berarti sunyi dan tak berarti, walaupun sesekali bermakna tenang dan damai.

Tabik..
31 Maret 2010