Jumat, 16 April 2010

Pisau Lipat dan Penerbanganku

Dari banyak penerbanganku, masalah pisau lipat sudah menjadi agenda klasik. Yang menjadi persoalan adalah tidak adanya perlakuan standard. Hanya sesekali pisau lipat di tas ketahuan, tapi kerap kali menguras energi.

Pada banyak kasus ketika pisau lipat ketahuan nyelip di tas, nada-nada tajam dari petugas keamanan bandara akan terdengar. Sepertinya karena pisau lipat yang kadang-kadang kita sudah tidak ingat ada dalam tas - karena tas berikut pisau lipat itu setiap hari menemani pekerjaan di jalanan - kita diperlakukan seperti penjahat yang akan membajak pesawat.

Tapi, penerbanganku dari Denpasar 13 Agustus 2009 memberiku warna beda, untuk persoalan pisau lipat ini.

====

Di Yogyakarta

''Mbak, bawa pisau lipat ya. Harus masuk bagasi. Kalau mbak tidak ada bagasi, bisa dititipkan ke teman yang ada bagasi. Pokoknya harus di bagasi,'' ujar mbak-mbak keamanan bandara Yogyakarta, di penghujung Juni 2009, yang mengundang pertengkaran seru di pintu bandara. Kebetulan, tak hanya aku yang kedapatan bawa pisau lipat multifungsi di tas. Seorang kawan kameramen pun membawanya.

Si mbak yang kayaknya baru lulus pendidikan keamanan dengan nyolot membentak-bentak kami berdua. Pun ketika kami jelaskan bahwa kami sudah hampir boarding, bahwa pisau itu perlengkapan liputan, bahwa semua bagasi sudah masuk pesawat dari tadi, bahwa tripod yang jelas2 dari alumunium lebih berbahaya daripada pisau lipat yang lebih banyak berfungsi sebagai pengungkit daripada sebagai pisau (hanya victorinox, setauku, pisau lipat yang benar2 berfungsi.. hihi.. kalau yang lain, apalagi buatan lokal, gada tajam2nya.. hihi lagi..), di depan mata mereka boleh masuk kabin tanpa ada masalah...

Bayangkan situasinya, belasan reporter dan kameramen dengan tampang kusut setelah dua pekan liputan di lapangan, dipersoalkan pisau lipatnya sementara tripod, kamera, dan perlengkapan lain yang lebih bahaya masuk juga ke kabin tanpa masalah.

Bukannya memberikan solusi, kami diberlakukan bak pesakitan. Sampai dikejar-kejar sampai pesawat. Diteriaki sepanjang ruang tunggu. Baru akhirnya seorang teknisi maskapai penerbangan yang jusru memberikan solusi untuk memasukkan pisau lipat itu ke //security item//, tanpa masuk bagasi. Cuma ngisi selembar dokumen, dan barang bisa diambil di bandara tujuan. ''Kenapa ga dari tadi solusinya ???!!!!''

=====

Ujung Pandang

Pagi-pagi, sendirian, tanpa bagasi seperti kebiasaan kemana pun aku pergi, di awal April 2009. Perlakuan yang sama buruknya dengan Yogyakarta. Tapi aku lolos dengan lagak sok polos menyelinap ke gate bandara.

=====

Jakarta

Masalahnya, belum pernah sekalipun aku dapat masalah pisau lipat di bandara Soekarno Hatta...
Selalu lolos dengan tenang..
Ga pernah terpermalukan...

====

Denpasar

Dan Denpasar memberiku pengalaman menyenangkan. Sekalipun aku ketahuan dan diberhentikan di pemeriksaan pertama - pertama, kawan2.. biasanya baru di pemeriksaan terakhir sebelum ruang tunggu, pisau itu ketahuan atau dipedulikan.. -..

Petang itu, 13 Agustus 2009...dari Denpasar aku harus menumpang penerbangan GA411..

''Maaf, mbak, tolong berhenti dulu sebentar. Bawa pisau lipat ya ?'' tanya mas2 di situ dengan ramah. Nadanya biasa saja tuh. Dia periksa ulang tasku. Ketika ga ketemu pisaunya - hihi, padahal dia sudah buka kantong tas yang ada pisau itu - dia nanya baik2, dimana pisau itu berada.

Ketika sudah ketemu, Bapak2 yang ada di situ - atasannya si mas2 kali ya.. - pun langsung bilang, ''Diantarkan saja ke petugas Garuda, biar masuk security item,'' kata dia dengan tetap ramah, ketika kukatakan aku tak bawa bagasi dan sudah masuk waktu boarding. Maka diantarlah aku sampai ke gate garuda, diuruskan sampai dokumen security item itu beres, bahkan aku disuruhnya tetap antre masuk sementara dia yang ngurus..

=====

Seandainya ada pelayanan standard di semua bandara Indonesia, tak perlu energi keluar sia2 hanya karena masalah pisau lipat..
Toh, ada solusi //security item// semacam itu.
Tinggal disegel, dengan tanda terima, dan pasti bisa diambil sesudahnya..

Tidak semua orang bawa bagasi ketika harus menumpang pesawat terbang.

Bahwa standard keamanan memang harus ditegakkan.
Tapi kalau kemudian penumpang diperlakukan seperti pesakitan, wah, ngajak berkelahi deh.
Apalagi udah capek liputan, masih ngejar deadline di tempat tujuan, eh dibentak2 cuma urusan pisau lipat.
Karena agak konyol kadang2, posisi pisau lipat itu benar2 nyempil di sudut tas. Yang kalau memang mau digunakan, harus membongkar total tas itu.
Ok, itu debatable.
Tapi yang jelas, para petugas yang pekerjaannya berhubungan langsung dengan penumpang atau pelanggan, mestinya punya standard penanganan kasus semacam itu kan..
Bahwa sama2 capeknya, iya lah, namanya kerja..
Tapi ketika memilih bekerja di sektor layanan, ya itu tugas Anda untuk bersikap sebagai 'pelayan'.. Bukan jadi sipir..

Tabik..
=== aku memang juga harus terus latihan sabar sih. tapi kalau aku sudah sabar dan sopan masih aja dibentak-bentak, itu ngajak berkelahi bukan ? hehehe.. ===

Kilasan Cerita Lama

'Anis', kusebut namaku sembari kujabat tangannya. ''Sama namanya,'' itu saja jawabnya tanpa pernah sebutkan nama dia. Sebuah perkenalan yang selalu saja mengundang heran dan pertanyaan, setiap kali kumengenang hari itu.

Pada mulanya kukira dia pegawai perusahaan tempat aku tergopoh-gopoh melamar. Dengan gayanya, dengan penampilannya. Ternyata, haha, dia juga melamar pekerjaan yang sama denganku.

Entah nasib apa yang menyatukan kami dan entah apa maksudnya, dia menjadi hantu hari-hariku selanjutnya. Entah sikapnya yang menjatuhkanku ketika diskusi, entah perasaanku yang meyakini dia akan selalu dipanggil juga setiap kali aku menerima panggilan seleksi lanjutan.

''Aries ya ?'' tanyaku yang dia iyakan dengan tatapan jengkel. Hehehe, aku tertawa dan bilang itu sudah kuduga. Hidupku tak jauh-jauh dari orang-orang berhoroskop itu. Dengan keunikan sikapnya.

Hari-hari dengan jawaban pendek dan sepatah-sepatah, menjadi hari-hariku bersamanya. Walaupun, ketika kudiam saat menjadi sopir pribadinya, meluncur beragam cerita kehidupannya. Belum lagi foto si ini si itu, pacar yang ini yang itu.

Saat kutanyakan kenapa dia menceritakan semua itu padaku yang tak pernah dia masukkan sebagai kategori teman, dia menjawab enteng saja. ''Kamu mau mendengarkan sih.''

Kunikmati hari-hariku dengannya dalam situasi yang tak jauh-jauh dari itu. Entah benar entah bodohku saja, kuanggap semua itu hanya cara dia menempatkanku dalam hidupnya. Kupikir, dengan cara unik itu aku hadir di hatinya. Tidak penting, bukan siapa-siapa, tapi ada.

Sampai entah setan atau justru malaikat yang membisikiku, bahwa dia hanya memanfaatkanku. Entah mengapa pula aku begitu terpancing dan marah. Kukilas balik semua perjalananku dengannya dan kubenarkan pendapat itu.

Kucecar dia dengan marahku. Dengan ketidakterimaanku atas sikapnya. Dan aku menjadi jahat. Lalu aku kehilangannya.

Sejuta cara untuk memanggilnya kembali. Tapi, tak juga ada cara kembali. Bukan lagi marah dan balasan jahat yang kudapat, tapi //absolutely// tidak peduli.

Di satu masa aku pernah gila karenanya. Waras sesaat untuk kembali gila. Tapi semua tetap sama saja. Dia tak lagi ada.

Sekarang, di sini, di satu kafe nyaman yang sepi di seberang satu gereja, aku hanya ingin tertawa mengenang semuanya. Meskipun ada sejuta umpatan yang menyebutku bodoh - karena mengenang dan mengharapkannya - aku tetap percaya dia tetap ada.

Kepercayaan itu terlanjur tertanam dalam. Kupikir hanya jeda yang sekarang dibutuhkannya. Seperti kata Bapaknya, kalau setiap upaya sudah tidak bisa, biarkan kekuatan doa yang mengembalikannya. Yah, aku sampai berakrab-akrab dengan Bapaknya, dalam sesi gila-ku karenanya.

Lalu, apa kabarku sekarang tanpanya ? Untunglah cukup gembira dan baik-baik saja. Dengan teman-teman yang memahamiku. Dengan kawan-kawan yang berbagi suka dan duka, walau tanpa rasa istimewa. Yang selalu ada, bahkan sekedar untuk panggilan ke lantai 13 kompleks pertokoan di kota Jakarta atau di kafe murah meriah di kawasan yang sama.

Di ujung kilas balik kenangan ini, sebaris doa yang dia minta suatu ketika, kembali kupinta. Mungkin ini memang hanya jeda, satu cara untukku tumbuh dewasa. Mungkin suatu ketika, bisa kutatap lagi senyum di matanya. Suatu ketika.

Hujan Salah Musim

Brrrr.. Lagi-lagi hujan salah musim. Membuatku terdampar di sini. Merapatkan jaket, dengan sebatang samsu terselip di bibir dan bertemankan secangkir kopi. Mengusir dingin. Cukup di warung pinggir jalan, berteduh. Dan membiarkan pikiranku melayang, sebebas elang, menapak tilas perjalanan.

''Kenapa sih, kalau menulis selalu tentang dia ? Itu //ga// berdampak buat yang baca, selain mancing simpatik dan penasaran,'' kecam seorang kawan siang tadi tentang note fesbukku. Haha, aku hanya tertawa menanggapinya. ''Itu karena semua orang menganggap tulisanku adalah personal. Padahal itu kan latihanku menulis,'' jawabku seusai reda tawa.

''Tulislah tentang Bu Mega, atau apa lah yang ada gunanya buat publik,'' lanjut kecamnya. Menurut dia, tulisanku tak lari-lari, tapi tidak berarti. Seperti aku di mata si 'kamu' yang membuat orang penasaran itu, rutukku dalam hati.

Crassssshhh... Sial, warung ini tak melindungiku dari tempias air yang melompat dari genangan yang terterjang mobil-mobil mahal. Nasib kaum marjinal. Berteduh pun basah.

Jadi ingat Bu Mega. Apa ya yang dipikirkannya kala hujan salah musim begini ? Mengingatnya, entah mengapa yang terasa sunyi. Selintas teringat kabar Bu Mega sampai menyepi dan menolak menemui orang-orang terdekatnya. Hanya dua putranya, dan satu dua sahabat akrab, yang bisa menyambanginya. Bukan putrinya, suaminya, sekjen-nya, atau siapapun yang selama ini melekat dianggap sebagai ring satu Bu Mega.

Demokrasi ini mungkin seperti hujan salah musim ya, Ibu. Seperti hujan yang seharusnya anugrah, tapi mengundang gerutuan karena salah musim. Demokrasi yang dianggap sebagai berkah pun, menjadi serasa salah musim ketika dimenangkan orang-orang yang salah. Ketika kemenangan hanya angka. Ketika kemenangan didapat melalui rekayasa.

Arrgghhhh.. Kenapa jadi mikir politik ? Siapalah aku ini boleh menghakimi demokrasi. Aku hanya pengelana jalanan bermodal motor tua. Dihapali setiap warung kopi jalanan, yang hanya terbeli secangkir kopi dan sebatang samsu setiap kali aku berada di sana. Pengelana bermodal tiga ribu perak untuk dua kenikmatan tiada tara itu.

''Kemana mak, warung-warung yang biasa di seberang sana ?'' tanyaku ke pemilik warung langgananku, sekedar mengalihkan pikiran. ''Biasa, mau adipura,'' jawab si mami tak acuh. ''Apa hubungannya mak ?'' tanyaku lagi.

Bertuturlah si mami. Setiap kali penilaian adipura digelar, maka petugas kecamatan akan mengedarkan surat kepada para pedagang yang berjajar di sisi selatan jakarta ini. Isinya, meminta mereka menutup warungnya untuk sementara. ''Sampai penilaian selesai saja,'' kata si mami.

Alamak, apa pula ini. Jadi semua gelar kebersihan itu hanya pura-pura ? Bersih tertata hanya ketika akan dinilai untuk adipura ? Bah.. Ampas kopi yang tersesap mulutku terasa berlipat kali pahitnya terasa. Kenapa tak disediakan saja satu lokasi yang memang tersedia untuk mereka, para pedagang kaki lima ini ?

Toh, mereka juga tak gratis di sini. Di depan mataku, aku tahu mereka membayar retribusi ke petugas kecamatan. Membayar iuran listrik dan air setiap bulan. Biaya keamanan pun tak ketinggalan.

Artinya, mereka bukan tidak mau membayar untuk berdagang. Mereka hanya tak punya tempat tanpa tergusur komplek pertokoan yang menyisipkan komisi di setiap persetujuan izin pembangunannya. Mereka hanya tak bisa mengirimkan parsel ataupun kartu diskon laiknya pertokoan-pertokoan mahal itu kepada para pejabat yang katanya aparat negara.

Aduh, kenapa aku jadi berpikir serius lagi ? Brrrrrr.. Hawa dingin ini menyentakku. Kemana aku akan melanjutkan langkah kaki saja aku tak tahu. Kenapa pula aku memikirkan negara yang seharusnya kaya ini ? Ahhh.. Asap pun tak lagi mengepul dari bibir ataupun sela jariku. Di tengah rutukan adipuraku, sebatang samsu itu sudah mati setelah melewati garis kuning pembatas isapan bibir.

Ah, hujan salah musim. Melemparkan otakku pada pengelanaan yang lebih panjang dari jalan roda motorku. Melayangkan gelisahku lebih tinggi dari kepak sayap elang. Hujan salah musim. Bersama dinginmu, otakku membeku.


>>> 2 November 2009, dedicated untuk seorang kawan yang mengkritikku tajam.. (notes : beberapa detil adalah fiksi.. tapi data insyaAllah valid.. hehe.. silahkan dinilai sendiri ajah.. boleh dicela2.. biar aku belajar juga.. haha.. thx anyway ..)

BERAKHIR SUDAH

'I hate you,' kata dia.
Terucap sudah kalimat itu untukku. Cukup sudah.

'Kau pikir cukup dengan kamu menjadi baik satu bulan ?' tanya dia.
Keluar juga kalimat itu untukku. Penghujatan.

'Dengan semua kejadian selama ini, aku sudah tak punya respek sedikit pun padamu,' tegas dia.
Terungkap juga fakta itu padaku. Penafian.

Dan 'Januari' pada akhirnya memang akan menjadi lagu kebangsaan.
Juga 'Tapi Bukan Aku'.

Haha..
Tertawa pun hambar terasa.

Kenyataan yang sudah diduga.
Tapi tetap saja menyakitkan ketika diungkapkan seketika.

Bantingan buku.
Teriakan.
Cacian.
Celaan.
Penafian.
Plus wajah penuh benci.

Cukup sudah.

Entah penghiburan apa yang kali ini bisa menghentikan 'sakit'-ku.
Karena kamu-lah selama ini penghiburanku.
Harapanku untuk bisa menjadi sedikit lebih baik dari hari-hari laluku.
Tapi ternyata semua hanya ditangkap sebagai buruk dan buruk.
Tak pernah ada maaf sejati untukku.
Tak pernah ada hati yang disediakan untukku.
Aku hanya bermimpi dan hidup di dalam itu.

Cukup sudah.

==

Untuk kalian yang belum pernah berbuat kesalahan fatal, jangan pernah membuatnya.
Karena kesalahan itu akan mengikutimu seperti hantu, di setiap langkahmu.
Perbaikan dirimu tetap tak menghapus kesalahan itu, tak juga membuka maaf untukmu.
Waktu ? Mungkin cuma itu, tapi aku tak lagi membiarkan hatiku percaya waktu memberiku kesempatan itu.

==

Maaf kalau kali ini aku membiarkan diriku terpuruk dalam nada-nada negatif.
Tentu, aku bukan penganut aliran bunuh diri.
Tak juga hendak 'lari'.
Aku hanya sedang butuh sunyi untuk menata hati dan diri.

===

>> somewhere out there ... 3 Februari 2010 ...

Kangen Menulis Saja..

Ada beberapa pertanyaan dasar yang sesekali mengusik rutinitas pekerjaanku. Setidaknya ada dua pertanyaan. Satu, apakah aku benar-benar bisa menulis ? Dua, apakah aku benar-benar wartawan ?

Kedua pertanyaan itu jawabannya 'iya', tapi masih diikuti tanda baca koma.

Untuk pertanyaan pertama, jawabannya 'iya', kalau hanya dilihat bahwa ada kok tulisanku yang dimuat di tempatku bekerja, bahkan sesekali dengan editan yang tak substantif.

Untk pertanyaan kedua juga 'iya' kalau hanya dilihat bahwa aku punya ID-card (*yang menurutku jelek sekali dengan tulisan PERS berhuruf kapital berlatar belakang warna merah.. hehehehe..*), setiap hari mengejar kabar-kabur dari penjuru mata angin mengatasnamakan liputan lalu menuliskannya dengan harapan jadi berita, dan setiap bulan menerima gaji beserta slip-nya dari salah satu perusahaan media massa.

===

Kenapa aku gelisah karena dua pertanyaan itu ?

Pertama, aku merasa tulisanku biasa-biasa saja. Tak inspiratif. Tak berbingkai. Tak juga 'seru' atau 'menggelitik'. Datar saja. Barangkali malah membosankan.

Dua, tulisanku tak mengubah realita, tak membongkar hal-hal yang tak kasat mata. Reportase pun mungkin masih terlalu mewah untuk mewakili kata 'laporan'. Karena detil kerap tak punya tempat juga untuk disampaikan dalam rangkaian kata.

Tiga, verifikasi semakin hari semakin jauh saja dari dunia pekerjaanku ini. Padahal kata mereka yang belajar komunikasi apalagi jurnalistik, roh pekerjaan ini adalah 'verifikasi'.

Empat, apalagi kalau mau kembali ke idealisme awal sampai jurnalisme dimahkotai gelar 'pilar demokrasi keempat', semakin pusing kepalaku melihat duniaku ini semakin dekat dengan pertunjukan drama permukaan. Sektoral, individual, tak mengusung sesuatu yang benar-benar berkorelasi dengan rakyat.

==

Jadi miris sendiri, dengan segala diskusi panas tentang negara dan kehidupan bernegara.

Apa sih definisi negara yg paling dasar ? Komunitas orang yang sepakat atas sebuah konsep, sehingga bergabung untuk hidup bersama di satu wilayah, dan meminta pengakuan dari komunitas lain di luar dirinya. Kira-kira begitulah gambaran gampang dari pikiran para pendiri negara itu.

Lalu apa yang terpenting dari negara yang dasar pembentukannya begitu itu ? Namanya kumpulan orang alias manusia, pasti harus hidup dong. Dan karenanya 'makan' adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Bahasa muluknya adalah 'ekonomi'. Yah, kalau punya uang lebih karena kemakmuran ekonomi, bisa lah buat sekolah anak-anak, beli rumah bagusan dikit, mobil mentereng, atau apalah.

Karena dituntut bisa bertahan hidup, dengan beragam jenis orang dan pikiran di dalam komunitas itu sendiri dan juga bertetangga dengan komunitas lain, muncullah 'politik'. Meskipun kesepakatan sikap untuk membentuk negara juga masuk definisi politik, tapi menurutku pada dasarnya politik adalah urutan kedua setelah 'urusan perut' alias ekonomi, sesudah negara itu terbentuk.

Menurutku lagi, politik adalah konsep sistem yang dipilih untuk negara itu bertahan, termasuk untuk bisa memenuhi tuntutan perut itu. Susah sebenarnya mana yang duluan, politik atau ekonomi, dalam membentuk negara. Nyaris sepaket, dan timbal balik. Harus yakin hidup juga kan kalau mau memisahkan diri jadi negara sendiri. Kecuali kalau konyol saja. *ups..*

Ke dalam, politik yang dipilih akan menentukan 'sistem ekonomi' apa yang akan membuat sumber daya negara berdaya guna untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota negara ini. Kalau pilihannya lebih dari satu, keterkaitan sistem politik dan sistem ekonomi, akan lebih kait-mengait lagi. Lagi-lagi, harusnya ya..

Ke luar, politik juga yang menentukan apakah kita akan berkawan atau bermusuhan dengan negara mana, yang intinya akan mempengaruhi ketahanan hidup kita, baik dari sisi pasokan maupun dari sasaran jualan dan bersekutu yang ujungnya buat ongkos hidup itu tadi.

Ketika pilihan politik sudah dipakai, maka 'hukum' melengkapinya dengan perangkat aturan. Inilah garis pembatas lapangan permainan. Kalau masih sepakat jadi warga negara X dengan sistem politiknya dan numpang hidup di situ (*terpaksa ataupun enggak..*), ya harus memperhatikan dan patuh pada garis batas ini.

Tentyu, baik ekonomi, politik, maupun hukum, sifatnya relatif. Nah, baliknya ke politik. (*Apa politik harus jadi faktor nomor satu bernegara ya ?*).

Keberpihakan ekonomi seperti bagaimana yang dikembangkan Pemerintah, sistem politik apa, dan aturan macam mana yang diberlakukan, tergantung pada kemampuan 'bersiasah' para pemimpin sub-komunitas di dalam komunitas negara itu untuk bisa menjadi pengendali komunitas.

Ekonomi seperti apa, tergantung yang memerintah negara itu siapa. Negara makmur tapi ngutang mulu, atau negara ga punya sumber daya asli tapi kaya raya, tergantung pada siapa pemimpin dan-atau aliran politik pemimpin itu. (*Yup, sudah jarang individual orang memiliki kekuatan politik yang besar*).

Apalagi aturan hukumnya, pasti ngikut sistem politik dan tuntutan ekonomi. Kekuasaan -di eksekutif maupun jadi anggota dewan yang terhormat- itu menentukan nasib banyak orang. Sayang sering dikejar untuk rasa 'wah'-nya doang ya.. (*tyuh, politik penting juga ya..*)

Kalau melihat gambaran super duper disederhanakan itu, mestinya ketiga domain besar hidup bernegara tak bisa dikotak-kotakkan. Mestinya ya.

Mestinya ketika kita masih sepakat untuk menjadi bagian dan hidup - alias makan - di negara ini, sepakat dengan sistem politik yang berjalan, dan sepakat dengan aturan hukum yang berlaku sekarang, semua persoalan harus direntang sejauh itu sekalipun hanya bicara soal yang katanya sederhana.

Kenyataannya, pengkotak-kotakan ketiga hal itu semakin kental, meskipun tengah membahas masalah yang sama. Seolah-olah satu persoalan itu bisa dibelah, tergantung siapa yang sedang membicarakan atau menanganinya. Apakah itu orang ekonomi, politik, atau hukum. Seolah-olah benar dan salah itu menyesuaikan konteks.

==

Nah, kalau wartawan yang menjadikan pena -ups, sekarang komputer atau beriberi- sebagai senjata pamungkasnya adalah pilar keempat demokrasi (sistem politik yang sedang tren dengan tiga pilar lain adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif..) maka mestinya verifikasi tak akan pernah lekang dari kesadaran.

Sekalipun, bisa jadi kesadaran verifikasi itu kerap kali cuma jadi alarm kecil yang berdenging di bawah sadar, ketika menemukan fakta dari salah satu sektor bidang liputan. Toh, industri media memang tak menyediakan ruang sempurna untuk fakta sesungguhnya.

Bukannya malah ikut sibuk ribut dan lupa 'menjaga jarak' dengan subjek dan objek liputan. Hanyut dalam irama permainan, sehingga lengah dengan latar belakang di balik peristiwa.

===

Hahaha.. Sepertinya aku lupa makan lagi, jadi menulis hal-hal ribed begini..

Sebaiknya segera menelepon si jangkung (*jadi ketahuan deh, aku di mana.. bagi yang tahu saja..). Segera memesan semangkok mie goreng dengan dua telor mata sapi, segelas kecil dobel milo, sebotol aqua, dan bekerja kembali..

Kalaupun aku bisa bertahan dalam kegelisahan ini, semata karena kuniatkan hidupku ini untuk terus belajar. Selangkah demi selangkah.. Menatap seluruh realita.. Jatuh bangun sih.. Dijalani saja seni dan pernak-perniknya..

Kupertanyakan selalu ke diri sendiri dua hal saja. Kapasitas dan integritas. Jawabanku sendiri ya itu tadi, tetap merasa belum tahu apa-apa dan belum berbuat apa-apa. Terlalu banyak waktu masih tersia-sia. Bodoh banget terus rasanya. Belum berguna juga jadi manusia. Orang lain selalu membuatku terpesona dengan sikap dan karyanya. Kok pada bisa begitu ya ? Kok bisa hebat-hebat ya ?

Karenanya untukku introspeksi adalah mutlak. Kadang kebablasan menyalahkan diri sendiri dan menghukum diri sendiri seberat mungkin. Lalu, mengasah kepekaan. Dan, tak mematikan solidaritas. Karena sendiri hanya berarti sunyi dan tak berarti, walaupun sesekali bermakna tenang dan damai.

Tabik..
31 Maret 2010